Penyair muda
masa muda telah ia rangkum dan ia masukkan ke dalam tas gendongnya, dua puluh kilogram beratnya. Pagi-pagi sekali ia pamit kepada Nadanya “aku akan pergi ke puncak merapi untuk mencari batu kata paling murni, akan ku persembahkan pada mu nanti”.
Ia melambaikan tangan sambil menguluk salam kepada Nadanya, Nadanya berkata: “tega sekali, kau tinggalkan aku hanya untuk berburu kata-kata, kau tak tahu kata-kata tak bisa menaklukan hati ku, hanya hati kata yang dapat membuat dadaku berdenyut dan mataku menyala”.
Tanpa cium berangkatlah ia memburu mimpi. Tertatih, terjungkal, ia panjat tebing terjal dan terus mendaki ke puncak tinggi. Di bawah Nadanya menanti: “akankah ia kembali atau terperosok ke jurang sepi?”.
Di sebuah minggu yang hangat pulanglah ia, tubuhnya kusut, wajahnya kumal, rambut yang lurus kini berubah menjadi tak karuan. Dibawah pohon mangga ia bertemu dengan Nadanya; “mana batu kata paling murni untuk ku?, akan ku jadikan hiasan kalung ku”.
Di tagih janji ia tertunduk malu, berkata “gunungnya keburu meletus sebelum aku berhasil sampai di puncaknya, aku Cuma bawa abunya dua puluh kilogram beratnya”. Antara geli dan haru, Nadanya teringat abu ia ambil sejumput abu dari tasnya lalu di oleskan pada pipinya seraya berkata “puisi pertama adalah abu” merapat sedikit. Ia goreskan sebaris ciuman di bibirnya “malam ini kau resmi jadi penyair ku” ucapnya dan selembar Daun Mangga jatuh di atas rambutnya “maaf, buah mangganya sudah habis. Tapi aku masih menyimpan kulitnya”.
2023
Komentar
Posting Komentar